Jumat, 26 Juni 2009

PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI
FILSAFAT DASAR DAN IDEOLOGI
NEGARA KEBANGSAAN DAN NEGARA KESEJAHTERAAN
REPUBLIK INDONESIA


I. PENDAHULUAN
Masih belum terwujudnya kehidupan masyarakat Negara Indonesia yang terlindungi, mempunyai tingkat kesejahteraan yang tinggi, cerdas kehidupan bangsannya, serta bermartabat dalam pergaulan dunia sehingga dapat berperan aktif ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah karena belum dipahami dan diupayakan secara sungguh-sungguh Pancasila sebagai landasan filosofi dan ideologi dari Negara Republik Indonesia. Karena itu untuk memenuhi harapan penyelenggara Kongres Pancasila (Universitas Gadjah Mada berkerjasama dengan Mahkamah Konstitusi) penulis diminta menyoroti “Kesejahteraan Rakyat dalam Perspektif Pancasila”, penulis memberanikan diri untuk mengubah pokok bahasan menjadi “Pancasila Sebagai Filsafat Dasar dan Ideologi Negara Kebangsaan dan Negara Kesejahteraan Indonesia”.
Penulis sengaja memilih pokok bahasan ini karena penulis mengamati bahwa walaupun para elit tidak ada yang menentang tetap berlakunya UUD 1945, dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya secara tersirat dan tersurat menganut ideologi Negara Kesejahteraan, tetapi praktek penyelenggaraan Negara sama sekali mengabaikan ideologi tersebut. Karena itu Prof. Kunto Wibisono (dalam diskusi Dewan Riset Nasional tanggal 23 Mei 2001) menyatakan bahwa selama ini Pancasila hanya dijadikan “sebagai serangkaian terminologi dan phraselogi yang bobot dan tekanannya lebih diarahkan sebagai media politik”.
Penyelenggaraan pendidikan nasional yang tidak dibiayai sepenuhnya adalah wujud pengingkaran dari kaidah Negara Kesejahteraan yang dianut UUD 1945.
Berangkat dari pertimbangan tersebut tulisan ini akan secara berturut–turut mengulas dan menganalisis :
(1) Pancasila 1 Juni sebagai Filsafat Dasar Negara Bangsa dan Negara Kesejahteraan;
(2) Pembukaan UUD 1945 Sebagai Ideologi Negara Kebangsaan dan Negara Kesejahteraan; dan
(3) Penyelenggaraan Satu Sistem Pendidikan Nasional Sebagai Tanggung Jawab Pemerintah untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

II. PANCASILA 1 JUNI SEBAGAI FILSAFAT DASAR NEGARA KEBANGSAAN DAN KESEJAHTERAAN
Penulis secara eksplisit menyatakan Pancasila 1 Juni, karena berdasarkan pidato Bung Karno 1 Juni, yang terkenal dengan Lahirnya Pancasila terdapat uraian yang pada hakekatnya menggambarkan wujud Negara Indonesia yang akan dibangun di seberang jembatan emas. Karena itu bagian pertama dari tulisan ini akan memuat pemahaman penulis tentang Pancasila sebagai Filsafat Dasar Negara seperti yang diuraikan oleh Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.
Dari Pidato Lahirnya Pancasila, struktur wujud bangunan negara Indonesia merdeka yang diajarkan Bung Karno pada hakekatnya bercirikan lima karakteristik sebagai berikut:
Pertama, Negara Indonesia yang merdeka adalah negara kebangsaan (Nation State) – suatu negara yang mengatasi batas-batas ras dan agama yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Wujud negara kebangsaan yang digariskan oleh Bung Karno memang pernah ada pada jaman Sriwijaya dan Majapahit, tetapi wujud negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno belum pernah ada sebelum Indonesia merdeka. Negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang didukung oleh seluruh rakyat yang memiliki pengalaman kolektif sejarah yang sama dan yang berada dalam satuan gugusan wilayah yang secara geopolitik sangat strategis akan berdampak pada terancamnya integrasi nasional, baik secara sosial, politik dan teritorial. Apa yang kita hadapi pada saat ini, tidak lain karena banyak pemimpin melupakan hakekat negara Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan yang masih perlu diwujudkan dan dipertahankan sebagai cita-cita, serta dibangun dan dikembangkan untuk menjadi negara kebangsaan modern yang kokoh, stabil, cerdas, dan bermartabat. Untuk itulah perlu dipertahankan bentuk negara kesatuan, dan perlu dilaksanakan dan diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional dan terus dimajukannya kebudayaan nasional.
Kedua, Negara kebangsaan yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara kebangsaan yang demokratis. Tetapi demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi gaya Yunani Kuno, melainkan demokrasi perwakilan yang mengutamakan permusvawaratan perwakilan untuk mencari konsensus. Bukan demokrasi liberal yang berdasarkan filosofi free-fight liberalism yang semangatnya adalah untuk mengalahkan lawan politik dan merebut kekuasaan, bukan semangat menemukan konsensus nasional untuk keutuhan bangsa, dan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila Bung Karno menyatakan:
”Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor tiga ini, yaitu prinsip permusyawaratan perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu saat yang hidup betul-betul hidup jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya."

Bahwa telah jelas Bung Karno mencita-citakan negara kebangsaan yang demokratis. Tetapi, demokrasi yang diusulkan adalah demokrasi perwakilan. Bahkan beliau memandang bahwa sebagai pengejawantahan adanya demokrasi dalam badan perwakilan itu akan selalu terjadi perjuangan yang hebat, tetapi perjuangan itu untuk mencapai yang terbaik untuk kepentingan rakyat seluruhnya, untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia. Bila kita kaitkan ajaran ini dengan situasi sekarang, tampak jelas betapa perdebatan yang sengit yang terjadi di DPR adalah sesuatu yang wajar sepanjang semangatnya bukan semata-mata untuk mengalahkan dan mengambil alih kekuasaan demi kepentingan golongan. Dan karena kita menganut demokrasi perwakilan seyogyanya rakyat pemilih mempercayakan sepenuhnya kepada para wakil rakyat yang telah terpilih untuk memperjuangkan cita-cita rakyat secara bijaksana, dan tidak perlu memberi tekanan terlalu berat sehingga hasil yang dicapai bukan demi hikmah kebijaksanaan melainkan hanya memenuhi tekanan yang mengancam yang menakutkan, yang belum tentu memiliki arti strategis jangka panjang bagi kepentingan nasional.
Ketiga, Negara kebangsaan yang demokratis yang dicita-citakan Bung Karno juga bukan negara yang menganut free-fight liberalism dalam sistem ekonominya, melainkan negara kebangsaan yang demokratis dan bercita-cita terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sosio-demokrasi. Karakteristik yang ketiga ini hakekatnya adalah negara kesejahteraan seperti yang dijanjikan dalam kalimat akhir Pembukaan UUD1945, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pasal-pasal 27, 31, 33 dan 34 UUD 1945, nampaknya selama ini tidak sepenuhnya dijadikan landasan untuk membangun satu sistem ekonomi nasional. Patut disadari bahwa sikap anti kapitalisme yang dianut kaum sosialis yang berakar kepada pengalaman praktek kapitalisme abad ke-18 dan 19 merupakan induk imperialisme yang tidak serta merta dapat dipertahankan. Perkembangan kapitalisme global yang sepenuhnya telah menguasai kehidupan dan tata hubungan ekonomi dan politik dunia tidak dapat dilawan dengan sikap anti kapitalisme gaya kaum sosialis dan komunis pada era Pra-Perang Dunia II, melainkan perlu dihadapi dengan mengembangkan sistem ekonomi nasional yang benar-benar kokoh dan solid yang dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, dikembangkannya satu sistem ekonomi nasional sebagai jalan ketiga yaitu dengan memajukan semua kegiatan ekonomi, baik ekonomi dengan kapital besar, menengah dan kecil, industri besar dengan teknologi mutakhir dan industri kecil serta industri rumah tangga, secara sinergis saling bergantung satu sama !ain. Bukan suatu kondisi ekonomi majemuk, yaitu suatu keadaan dimana kaum kapital besar dan industri besar, menengah, kecil dan kerakyatan masing-masing tidak saling bergantung, sehingga yang menjadi korban adalah kegiatan ekonomi rakyat yang selalu menjadi konsumen ekonomi kapital besar tetapi produksinya tidak menyentuh dan tidak tersalur ke dimensi ekonomi berkapital besar. Tanpa menata suatu sistem ekonomi yang demikian sukar diharapkan cita-cita Bung Karno untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan dapat tercapai.
Keempat, Sejak dini, bahkan sebelum menyajikan Pidato lahirnya Pancasila, Bung Karno telah berulangkali mengemukakan pentingnya hubungan internasional yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi. Pandangan ini dipertegas dalam Pidato Lahirnya Pancasila dengan menyatakan "Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme", karena karakter keempat dari wujud negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang mencintai perdamaian, yang ikut serta dalam membangun ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi. Bukan suatu tatanan dunia yang aturannva didikte negara-negara maju, seperti yang kita alami sekarang ini.

Kelima, Bung Karno sadar bahwa keberhasilan kita membangun negara kebangsaan yang demokratis, yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan mampu secara aktif ikut serta menciptakan ketertiban dunia akan ditentukan oleh ridho Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, ciri khas kelima dari negara kebangsaan Indonesia yang modern adalah bahwa negara Indonesia adaiah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentang wujud dari negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Bung Karno menyatakan:
"Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri, yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita ber-Tuhan, hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-Nya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berbudaya, yakni yang tidak ada egoisme agama".

Selanjutnya, Bung Karno secara lebih tersurat menyatakan:
"Marilah kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad SAW telah memberikan bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan : bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang menghormati satu sama lain".

Saya berpandangan bahwa Pancasila yang tertuang dalam Pidato Lahirnya Pancasila bukan hanya rumusan dasar negara, melainkan sekaligus menggambarkan kerangka dari wujud karakteristik dari kerangka bangunan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Dewasa ini nampaknya ajaran yang telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 ini kurang dipahami bahkan sering hanya dijadikan bumbu retorika politik tanpa benar-benar didalami untuk dapat menterjemahkannya dalam hukum dasar, dan berbagai ketentuan penyelenggaraan negara bangsa di segala bidang kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia. Hal ini benar-benar saya rasakan dalam Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR Rl yang membahas Amandemen UUD 1945.
Kerangka bangunan negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno, menururt pandangan saya, hakekatnya adalah negara kebangsaan modern yang demokratis, yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan berkeadilan sosial, yang menjunjung tinggi HAM dan perdamaian dunia serta yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kerangka dasar bangunan negara ini pada tahun 1945 hanya lah merupakan cita-cita yang harus diisi dengan kelembagaan dan infrastruktur serta manusia nya. Untuk itu perlu ditempuh suatu perubahan radikal (revolusioner) dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia, dari masyarakat yang ber-Bhinneka Ketunggal Ika-an, dan masyarakat tradisional dan feodal menuju masyarakat yang modern dan demokratis. Untuk itu Bung Karno secara sadar mengajarkan kepada kita bahwa kita menghadapi "a summing-up of many revolutions in one generation." Ini bermakna bahwa perubahan dan pembaharuan yang perlu kita lakukan meliputi hampir semua dimensi kehidupan masyarakat negara bangsa, sosial, budaya, ekonomi, politik dan iptek. Dalam kaitan inilah kita memandang berbagai kelembagaan politik, sosial, budaya, ekonomi dan manusianya perlu secara sinergik dan sistemik di tata dan dikembangkan untuk mengisi kerangka bangunan negara Indonesia merdeka yang di rancang oleh Bung Karno seperti digariskan dalam Pidato 1 Juni 1945 yang hari ini kita peringati.
Kalau kita amati perjalanan Indonesia sejak proklamasi sampai sekarang kita menyaksikan di bidang politik betapa kita telah mencoba-coba menganut sistem dan struktur politik yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kerangka bangunan negara-bangsa yang dicita-citakan Bung Karno. Sejak November 1945 sampai dengan 5 Juli 1959 kita menganut sistem multi partai dan sistem parlementer yang hakekatnya menjiplak sistem politik negeri Belanda. Dalam bahasaVerba-nya (Civic culture), suatu sistem politik yang tidak "congruent" dengan budaya politik masyarakat. Sejak 5 Juli 1959 sampai 1966, kita menganut sistem demokrasi terpimpin, dan dari tahun 1966 sampai tahun 1998 kita menganut sistem politik yang sangat terpimpin dengan pembatasan jumlah organisasi sosial-politik. Sejak 1998 semua pemimpin berjanji untuk mempertahankan Pembukaan UUD 1945 yang pada hakekatnya merupakan intisari ajaran Bung Karno yang tertuang dalam Pidato Lahirnya Pancasila, tentang kerangka wujud negara Indonesia merdeka. Namun, kalau kita ikuti secara cermat para elit dan pemikir politik yang menguasai media massa dan wacana politik nampak tidak memahami hakekat ajaran yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Tidak konsistennva pola pikir sementara pemimpin politik dan pakar Ilmu politik dan hukum dengan cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini, menurut hemat saya, merupakan akar dari kemelut politik dan sukarnya membangun sistem politik yang stabil. Untuk itu, adalah tanggung jawab kita semua, terutama yang bertanggung jawab bagi terselenggaranya pendidikan nasional untuk secara sistematis merancang dan menyelenggarakan pendidikan nasional sebagai wahana proses transformasi budaya menuju berkembangnya budaya poiitik yang berakar kepada cita-cita negara Pancasila yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari uraian ini jelaslah kiranya bahwa Pancasila adalah suatu pandangan filsafat negara yang modern. Dasar dalam pandangan penulis bahwa Filsafat Pancasila yang tertuang dalam Pidato 1 Juni selanjutnya oleh para pendiri Republik dikristalisasikan menjadi isi dari Deklarasi Kemerdekaan yang selanjutnya menjadi Pembukaan UUD 1945. Dan Pembukaan UUD 1945 ini hakekatnya adalah Ideologi Negara dari Negara Kebangsaan dan Negara Kesejahteraan Indonesia. Untuk itu bagian berikut akan mengulas dan menganalisis tentang topik tersebut.

III. PEMBUKAAN UUD 1945 SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA KEBANGSAAN DAN NEGARA KESEJAHTERAAN YANG DEMOKRATIS

Sejarah Negara dan Bangsa Indonesia sejak merdeka 17 Agustus 1945 sampai hari ini dipenuhi oleh berbagai pergolakan, bahkan pemberontakan, dan konflik (baik terbuka maupun tertutup) sehingga sering mengancam keutuhan bangsa. Amanat yang ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada hakekatnya merupakan “Deklarasi Pembukaan” dan ideologi negara untuk dicapai dan harus dilaksanakan, setelah hampir enam puluh satu tahun masih jauh dari terwujud. Salah satu faktor yang diperkirakan mempengaruhi belum mantapnya penyelenggaraan pemerintahan negara dalam melaksanakan misinya sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, berakibat lebih lanjut dari ketertinggalan kita dari negara-negara tetangga yang kemerdekaannya diperoleh puluhan tahun setelah Indonesia. Sukarnya memperoleh konsensus nasional diantara berbagai kekuatan politik untuk berpegang teguh kepada konsensus para pendiri bangsa yang dicapai pada tanggal 18 Agustus 1945 antara lain meliputi ideologi negara kebangsaan yang berdasarkan Pancasila.
Selanjutnya untuk memahami hakekat Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi Negara Pancasila akan diulas dan dianalisis dalam empat misi penyelenggaraan negara. Hampir tidak ada negara di dunia yang Pembukaan UUD-nya adalah Deklarasi Kemerdekaan Indonesia yang penuh dengan nuansa dan semangat kebangsaan, seperti yang dapat dibaca yang tertulis pada alenia I, menegaskan ”kemerdekaan adalah hak segala bangsa”, alenia ketiga yang menyatakan ”supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”; dan alenia ke empat yang menyatakan : (a) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (c) ......, disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu....”. Dengan membaca secara cermat Pembukaan UUD 1945 telah jelas bahwa para pendiri Republik berjuang bagi tegaknya Negara Kebangsaan Indonesia (Nation State of Indonesia) di bumi Nusantara. Pertanyaannya adalah ”Mengapa para perintis dan pejuang kemerdekaan yang kemudian menjadi pendiri Republik memilih wujud Negara Kebangsaan, bukan lainnya ?” Penulis berpandangan bahwa pertanyaan ini sukar dijawab tanpa mengetahui latar belakang sejarah sampai Indonesia yang pernah jaya di abad ke 8 – 11 pada periode imperium Sriwijaya yang meliputi seluruh Nusantara bahkan sampai Thailand Selatan, dan dari abad ke 13 – 15 dalam imperium Majapahit yang meliputi seluruh Nusantara bahkan sampai ke Filipina, kemudian menjadi puluhan kerajaan kecil, di Jawa saja ada tiga (Mataram, Banten, Cirebon), di Sumatera lebih banyak lagi, demikian juga Kalimantan, Sulawesi dan lainnya, yang satu per satu kemudian dikuasai pendatang yang jauh datang dari Barat (Portugis, Belanda, Inggris) dan pada akhirnya pada dekade pertama abad ke-20 sepenuhnya di bawah kekuasaan penjajah. Pengalaman sejarah ini dan diilhami oleh gerakan Negara Kebangsaan di Eropa mulai abad ke-18, para Pendiri Republik memilih Negara Kebangsaan. Kiranya perlu diketahui Negara-negara Eropa setelah runtuhnya Imperium Romawi menjadi negara kecil dan kemudian dapat dijajah Islam, Otonom Turki dan Jengis Khan. Dengan gerakan negara kebangsaan yang dipelopori King Arthur di Britania Raya, Napoleon Bonaparte Perancis, Otto Von Bismark Jerman, dan Garibaldi Italia, berbagai kerajaan-kerajaan kecil di negara-negara tersebut bersatu menjadi Britania Raya, Negara Bangsa Perancis, Negara Bangsa Jerman, Negara Bangsa Italia, dan seterusnya. Dan sejak itu mereka dapat kokoh berdiri dan berdaulat bahkan bertambah maju.
Nampaknya terilhami oleh Otto Von Bismark (Jerman), Garibaldi (Italia) dan tokoh gerakan Negara Kebangsaan di Eropa dan DR. Sun Yat Sen di Asia, para pendiri Republik dengan tujuan untuk menjadikan penghuni Nusantara bebas dari penjajahan dan bersatu untuk memasuki pertengahan abad ke-20 dan seterusnya menetapkan Indonesia yang merdeka adalah Negara Kebangsaan. Dalam kondisi itu mereka sadar bahwa kondisi masyarakat penghuni Nusantara pada tahun 1945 jauh tertinggal dari kemajuan peradaban dari yang telah melalui tahap industrialisasi dan modernisasi. Karena itu dalam menyusun deklarasi kemerdekaan bangsa, yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945 pendiri Republik menetapkan empat misi dari penyelenggaraan Pemerintah Negara Republik Indonesia. Seperti yang telah dikutip dibagian latar belakang tulisan ini. Pertanyaannya adalah ”Mengapa para pendiri Republik menetapkan empat misi bagi penyelenggaraan Pemerintah Negara Republik Indonesia ini dalam membangun Negara Bangsa Indonesia ?” Tulisan ini akan mencoba menganalisis latar belakang ditetapkannya empat misi yang pelaksanaannya berdasarkan Pancasila. Penulis merasa perlu menganalisis hal ini karena setelah para pendiri Republik meninggalkan gelanggang penyelenggaraan Pemerintahan, empat misi tersebut yang secara tetulis tetap dipertahankan dan sering menjadi materi retorika tetapi nampaknya tidak dijadikan rujukan utama dalam praktik politik dan penyelenggaraan negara, padahal misi dan landasannya yaitu Pancasila yang pada hakekatnya adalah upaya mewujudkan jati diri bangsa. Nampaknya para elit politik tidak begitu peduli untuk mencermati ini karena dalam UUD kita tidak ada satu kalimat pun yang secara eksplisit menyatakan ”sanksi” bila suatu pemerintahan mengabaikan atau melanggar ketentuan yang tertulis dari Pembukaan UUD 1945 bahkan yang tertulis dalam pasal-pasal UUD 1945. Berbeda dengan Amerika Serikat yang secara tegas menyatakan bahwa bila status Pemerintahan menghalangi terwujudnya tugas itu maka rakyat berhak untuk menggantinya, yang dalam kalimat aslinya tertulis :
”...That, to secure these rights, the Government are instituted among men, deriving their just powers from the consent of the governed; that whenever any form of government destructive of these ends. It is the right of the people to alter or to abolish it, and to institute a new government”
Karena tegasnya kalimat dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, Pemerintah Amerika Serikat tidak ada yang berani mengabaikan ketentuan yang tertulis dalam UUD-nya, kalau perlu dengan kekuatan senjata (misal Perang Saudara 1862 – 1865). Bagaimana dengan Indonesia ? Walaupun jelas-jelas mengabaikan dan tidak melaksanakan ketentuan yang tertulis dalam UUD 1945 tetapi tidak ada konsekuensi apapun. Dan tidak ada kekuatan politik yang mengingatkan.
Selanjutnya marilah kita mencoba menganalisis satu persatu misi penyelenggaraan Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dalam pandangan penulis adalah Ideologi Negara, yang tetulis dalam Pembukaan UUD 1945.
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Misi ini hakekatnya berangkat dari konsepsi geopolitik yang dijadikan landasan bagi Bung Karno dari pidato 1 Juni 1945 untuk mengusulkan didirikannya Negara Kebangsaan. Penulis baru sadar akan makna geopolitik bagi Indonesia yang Negara Kepulauan setelah membandingkan dengan dengan Amerika Serikat dan China.
Pada tahun 1803 Presiden Thomas Jefferson hampir jatuh, karena krisis ekonomi Amerika Serikat akibat membeli Lousiana dari Napoleon Bonaparte. Tetapi setelah di depan Kongres, Thomas Jefferson menyatakan bahwa masa depan keamanan Amerika Serikat dan generasi yang akan datang akan tergantung kepada siapa yang menguasai Lousiana, akhirnya Kongres menerimanya dan Thomas Jefferson terpilih kembali menjadi Presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya. Selanjutnya pada tahun 1870 Amerika Serikat membeli Alaska dan pada akhir abad ke-19 Amerika Serikat menguasai Hawaii. Semua itu merupakan strategi geopolitik untuk keamanan dan keutuhan Amerika Serikat. Demikian juga dengan China yang berusaha keras untuk menguasai dan mau mempertahankan Tibet sebagai bagian dari China yang berbatasan dengan India, memasukkan kembali Hongkong dan Makau ke dalam wilayah China dan terus berupaya untuk memasukkan kembali Taiwan. Demikian juga dengan Inggris dengan Irlandia Utaranya. Semua itu dasarnya adalah pertimbangan geopolitik.
Mempelajari bagaimana negara-negara kebangsaan dengan strategi geopolitiknya, penulis dapat memahami upaya Presiden Sukarno memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dengan TRIKORA-nya dan kecewa dengan kegagalan Dwikora dan lepasnya Kalimantan Utara menjadi bagian dari Malaysia (padahal dalam sejarah tidak pernah ada Kalimantan Utara merupakan satu kesatuan dengan Semenanjung Malaya, bahkan sebaliknya pada jaman Iskandar Muda, Johor adalah bagian dari Aceh). Dan penulis pun memahami mengapa Presiden Suharto memasukkan Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia. Kedua Presiden Republik Indonesia tersebut berangkat dari strategi geopolitik demi keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berupaya agar kepulauan Nusantara secara utuh merupakan satu wilayah kedaulatan NKRI. Disayangkan bahwa pemahaman tentang upaya mewujudkan jati diri bangsa yang bersumber pada amanat Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi negara diabaikan. Lepasnya Timor Timur, lepasnya Sipadan dan Ligitan dan diterornya Ambalat tanpa ada balasan yang setimpal pada hakekatnya merupakan pengingkaran terhadap misi pertama penyelenggaraan Pemerintah Negara Republik Indonesia, yaitu “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Atas dasar itu, perlu memperkuat Angkatan Bersenjata dan segala potensi pertahanan nasional yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia adalah kepentingan seluruh bangsa. Karena itu sangat disayangkan bahwa dana untuk menunjang itu sangat terbatas. Sehingga pada saat ini pada saat Malaysia telah menjadi Negara Ketiga yang terkuat Angkatan Udaranya di Asia padahal pada tahun 1960-an Angkatan Bersenjata Indonesia adalah yang terkuat Angkatan Bersenjata di Asia Tenggara. Pada saat ini, Angkatan bersenjata RI tidak diberi dukungan untuk menjadi ABRI yang terkuat, paling tidak di Asia Tenggara, atau seharusnya hanya dibawah China.
2. Memajukan kesejahteraan umum
Para pendiri Republik sadar bahwa saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia dalam segala hal sangatlah memprihatinkan. Selama penjajahan mayoritas rakyat Indonesia ádalah kuli dari berbagai perusahaan asing dan perusahaan milik kaum penjajah. Karena itu UUD 1945 pasal 33 dan pasal 34 secara khusus dirancang agar pembangunan ekonomi nasional ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau dalam kata-kata pada Pembukaan UUD 1945 tertulis “terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bila cita-cita ini tidak terwujud, rakyat akan bertanya untuk apa kita merdeka atau muncul pertanyaan apa makna hidup sebagai satu bangsa. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan bangsa yang terdidik yang menguasai IPTEK. Karena itu para pendiri Republik sadar bahwa hanya bangsa yang cerdas kehidupannya yang akan dapat meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Untuk itu misi ketiga dari penyelenggaraan negara adalah;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
Sering orang memaknai amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa” sama dengan memperluas kesempatan memperoleh pendidikan apapun mutu pendidikannya. Karena itu kesempatan memperoleh pendidikan diperluas. Tetapi kenyataannya walaupun kesempatan memperoleh pendidikan pada tingkatan SD sudah berada diatas 96 % dan SMP hampir 70 %, serta Perguruan Tinggi diatas 10 %, tetapi kehidupan bangsa yang cerdas belum atau masih jauh dari dari terwujud. Hal ini disebabkan karena lembaga pendidikan kita dari SD sampai Perguruan Tinggi hanyalah berupa gedung sekolah, tanpa peralatan, tanpa buku, tanpa lapangan olah raga dengan guru yang kurang terjamin kesejahteraannya. Penelitian UNESCO pada tahun 1996 menemukan bahwa mutu pendidikan semacam ini, yang pada umumnya terdapat di negara berkembang bukan hanya tidak bermakna bagi pencerdasan kehidupan bangsa tetapi sebaliknya akan melahirkan masalah baru bagi bangsa tersebut.
Penulis berpandangan bahwa tanpa memahami latar belakang sejarah Indonesia dan perkembangan sejarah peradaban dari yang sejak “Renaisance” melalui industrialisasi terus melaju menjadi peradaban moderen, kita akan sukar memahami pesan yang terkandung dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pada saat dunia Barat sejak abad ke-17 melalui Renaisance dan industrialisasi mendorong lahirnya negara-negara kebangsaan, dan pada pertengahan abad ke-20 setelah melalui dua perang dunia peradaban dunia didominasi oleh nilai-nilai budaya Barat baik politik, ekonomi, dan IPTEK, yang kemudian menjadi nilai-nilai peradaban moderen, Indonesia sebaliknya sejak abad ke-17 mulai secara bertahap berada dibawah kekuasaan penjajah dan mulai permulaan abad ke-20 sepenuhnya dibawah kekuasaan penjajah. Secara cultural penghuni Nusantara tetap berada dalam kehidupan tradicional dan tidak tersentuh oleh peradaban moderen yang rasional, demokratik, dan berorientasi IPTEK. Dalam perspektif ini pada tahun 1945 Indonesia tertinggal sekitar 400 tahun. Karena itu makna mencerdaskan kehidupan bangsa pada hakekatnya adalah gerakan mentransformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya moderen, rasional, demokratis, dan berorientasi IPTEK. Semangat “Ada Hari Ada Nasi”, “Kalau takut dilembur pasang jangan berumah ditepi pantai” dan “Ana Bapang den Simpangi (kalau ada hambatan/masalah dihindari)”, harus berubah menjadi “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung” atau dalam bahasa Toynbee A problem is a challenge, and a challenge is chance for progress. Mengubah sikap hidup dari tradisional, irrasional, feodalistik, dan menerima nasib, menjadi manusia yang percaya diri dalam menghadapi tantangan memerlukan proses transformasi budaya atau dalam bahasa Bung Karno our revolution is a summing up of many revolution in one generation, suatu perubahan yang meliputi berbagai dimensi kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, dan IPTEK. Dalam kaitan ini semua Negara yang kemudian menjadi Negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, kemudian disusul oleh Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China adalah Negara-negara yang memulai pembangunannya dengan mendudukkan sector pendidikan sebagai prioritas utamanya. Karena itu para pendiri Republik yang adalah cendekiawan terpelajar menetapkan kewajiban Pemerintah untuk “mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional” atau sistem persekolahan, dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia (pasal 31 dan pasal 32 UUD 1945 sebelum diamandemen). Disayangkan bahwa lebih dari enam puluh tahun setelah UUD 1945 disahkan oleh para pendiri Republik, amanat yang mewajibkan Pemerintah menyelenggarakan dan mengusahakan satu sistem pengajaran nasional dan memajukan kebudayaan nasional, terutama setelah lengsernya para pendiri Republik dari gelanggang penyelenggaraan pemerintahan Negara, diabaikan. Padahal melalui perubahan keempat UUD 1945 10 Agustus 2002, amanat tersebut dipertegas dan diperluas yaitu dengan menekankan : (1) kewajiban Pemerintah membiayai penyelenggaraan wajib belajar; (2) kewajiban Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % APBN dan APBD; dan (3) kewajiban Pemerintah untuk memajukan IPTEK.
Nampaknya merupakan keyakinan para pendiri Republik bahwa hanya melalui upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui terselenggaranya satu system persekolahan nasional yang relevan dan bermutu upaya memajukan kesejahteraan umum akan dapat terlaksana, dan dengan sendirinya misi pertama akan lebih mudah melaksanakannya. Bagaimana kaitannya dengan misi keempat “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi ?” Ulasan berikut akan mencoba menganalisisnya.
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi
Sejarah dunia menunjukkan bahwa dalam pergaulan antar negara didunia hanya bangsa yang kokoh, bersatu, yang maju dan yang demokratis yang dapat secara bermartabat aktif dan diperhitungkan dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi. Diabad ke-21 ini badan-badan dunia di berbagai bidang seperti PBB (Politik & HAM), WHO (Kesehatan), UNESCO (Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, & Kebudayaan) WTO (Perdagangan), IMF (Keuangan), Bank Dunia (Pembangunan) dan lainnya, dikuasai oleh negara bangsa yang kokoh, yang maju baik dalam bidang ekonomi, dan IPTEK. Karena itu dalam pandangan penulis tercapainya misi pertama sampai ketiga akan menentukan seberapa jauh misi keempat akan dapat dilaksanakan secara merata dan ampuh.
Dalam kondisi bangsa yang secara internal sering dilanda konflik kepentingan antar golongan yang secara ekonomi jauh dari maju dan dari segi IPTEK sangat bergantung kepada dunia luar akan sukar diperhitungkan dalam percaturan internasional bahkan sering dijadkan objek manuver politik internasional, bahkan dalam menyelesaikan masalah dalam negerinya sendiri. Karena itu sebelum ketiga misi utama terwujud sukar untuk dapat berharap bahwa Indonesia akan secara bermartabat dapat melaksanakan misi keempat. Tetapi kalau ketiga misi pertama telah terwujud yaitu kokoh dan utuhnya negara RI, tingginya tingkat kecerdasan kehidupan bangsa, dan tingginya tingkat kesejahteraan, kemakmuran rakyat Indonesia, adalah kewajiban bahkan tanggung jawab Indonesia untuk ikut dalam melaksanakan ketertuban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi.

Keyakinan ideologis dan keilmuwan penulis bahwa keempat misi tersebut yang merupakan wujud dari suatu Negara Bangsa Indonesia yang merdeka adalah ideologi negara yang maknanya adalah bahwa setiap Pemerintah yang dipercaya untuk menyelenggarakan pemerintahan negara wajib menjadikannya sebagai kerangka dasar pengembangan program dan ukuran keberhasilan suatu pemerintahan. Sayangnya sejak Indonesia merdeka empat misi ini tidak selalui dijadikan ukuran keberhasilan bahkan Presiden Sukarno digoyang dan akhirnya jatuh karena berusaha keras untuk melaksanakan misi pertama yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan Dwikora-nya. Karena dalam perhitungan geopolitik Bung Karno utuhnya Nusantara adalah suatu kepentingan seluruh bangsa.
Dalam mencapai tujuan bagi terwujudnya kehidupan Negara Bangsa Indonesia beserta karakteristiknya tertulis dalam empat misi tersebut Pemerintah Negara Bangsa Indonesia dengan berlandaskan kepada nilai-nilai Pancasila.Setelah secara berturut-turut membahas Pancasila sebagai filsafat dasar Negara dan terjemahannya, yaitu Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi Negara, selanjutnya penulis akan menyoroti penyelenggaraan pendidikan nasional sebagai tanggung jawab Pemerintah.

IV. PENYELENGGARAAN SATU SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL SEBAGAI TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH UNTUK MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA
Dari uraian tentang Pancasila sebagai filsafat dasar Negara dan Pembukaan UUD 1945 berdasarkan ideologi Negara telah jelas paling tidak bagi penulis, bahwa Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 adalah Negara Kebangsaan dan Negara Kesejahteraan. Apalagi kalau kita baca secara cermat rumusan kalimat yang tertulis dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, dan dibandingkan dengan isi deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat tentang tujuan pembentukan Pemerintah Negara. Untuk itu ada baiknya penulis kutipkan keduanya untuk perbandingan sebagai berikut:
“We hold these truths to be self evident, that all men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights; that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness. That, to secure these rights, governments are instituted among men, deriving their powers from the consent of the governed, that, whenever anyform of government becomes destructive of these ends, it is the right of the people to alter or to abolish it, and to institute a new government”

Dari kutipan diatas nampak bahwa Pemerintahan dalam sistem Demokrasi Amerika Serikat dibentuk untuk menjamin terlaksananya tiga hak-hak asasi manusia. Sedangkan Indonesia rumusannya adalah sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

Rumusan diatas menunjukkan Pemerintah Negara Indonesia dituntut lebih aktif dan menangani penyelenggaraan kehidupan masyarakat Negara Bangsa Indonesia. Pemerintahan semacam ini di Eropa dikenal sebagai Negara Kesejahteraan. Di Negara-negara seperti menurut Menteri Pendidikan Belanda tanggung jawab Pemerintah membiayai : pendidikan, kesehatan, pertahanan, administrasi penyelenggaraan Negara, dan infrastruktur dasar. Sektor lainnya adalah sumber pendapatan Negara. Atas dasar kebijakan dasar ini pada tahun 1996 anggaran untuk pendidikan mencapai 36 % APBN atau 7 % PDB. Dan pada tahun 2009 ini untuk penyelenggaraan Pendidikan Tinggi saja anggaran belanja untuk Pendidikan Tinggi di Negara-negara Eropa hampir 100 % biayanya ditanggung oleh Pemerintah (Swedia 1,5 % PDB, Perancis 1,1 % PDB, Belanda 1 % PDB, Jerman 1 % PDB)
Berangkat dari pemahaman Negara Kesejahteraan dan keyakinan pendiri Republik akan pentingnya pendidikan bagi pembangunan bangsa seperti diamanatkan dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (1) yang menetapkan :
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-undang”.
Ketentuan yang tertulis dalam pasal ini hakekatnya mengandung makna bahwa Pemerintah sepenuhnya bertanggung jawab menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, termasuk membiayainya. Karena itu selama pendiri Republik masih berkiprah dalam pemerintahan, pendidikan dari SD sampai Universitas, yang negeri, semuanya dibiayai, dan yang swasta diberi subsidi.
Pandangan dan keyakinan para pendiri Republik ini tentang pentingnya pendidikan seperti ternyata dari kebijakan yang ditempuhnya, sesungguhnya dianut oleh Plato dan semua Negara maju (Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, Jepang) dan sedang menuju menjadi Negara maju seperti Malaysia, Singapore, Taiwan, dan Korea Selatan.
Para ekonom juga berpendapat bahwa determinannya pendidikan bagi pembangunan ekonomi yang muaranya kesejahteraan rakyat khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya. Karena itu mereka berpegang pada paradigma “To Build Nation Build Schools”. Tentang pandangan ekonom tentang pendidikan dalam proses pembangunan ekonomi dapat diulas secara singkat sebagai berikut.
Pada tahun 1965, ekonom dari Princeton University dan Massachuttes Institute of Technology menyampaikan pandangannya sebagai berikut :
“In the final analysis, the wealth of a country is based upon its power to develop and effectively utilize the imate capacities of its people. The economic development of nations, therefore, is ultimately the result of human effort. It takes skilled human agents to discover and exploit natural resources, to mobilize capital, to develop technology, to produce goods, and to carry on trade. Indeed, if a country is unable to develop its human resources , it cannot build anything else, wether it be a modern political system, a sense of national unity, as a prosperous economy .
Khusus terkait dengan pendidikan kedua tokoh tersebut, Harbison dan Myers menyatakan :
“Investment in education certainly contribute to economic growth, but it is obvious that economic growth makes it possible for nations to invest in educational and development. Education, therefore, is both the seed and the flower of the economic development.
Pandangan ini nampaknya mempengaruhi pembangunan negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Vietnam, dan Thailand yang telah memberi porsi besar untuk mencari pendapatan nasionalnya bagi pendidikan. Tabel dibawah ini menggambarkan perhatian Indonesia terhadap pendidikan dibandingkan angka negara lain dilihat dari alokasi dana untuk pendidikan :
Tabel 1 . Persentase Anggaran Pendidikan terhadap PDB
No Negara Prosentase Anggaran
1 Indonesia 1,4
2 Vietnam 2,8
3 Srilangka 3,4
4 Philipina 3,4
5 Brunei 4,4
6 Thailand 5,0
7 India 5,1
8 Malaysia 5,2
9 Korea Selatan 5,3
10 Jepang 7,3
11 Nigeria 2,4

Dalam kaitan ini, Tim Bersama BAPPENAS, BPS, dan UNDP yang pada bulan Juni 2004 menyatakan :
“Indonesia need to invest more in human development not just to fulfill its peoples basic rights but also to lay the foundation for economic growth and to ensure the long-term survival of its democracy. This investments is substansial but clearly affordable.”
Pernyataan tim bersama BAPPENAS, BPS, dan UNDP ini menekankan kalimat “The investment is substantial but clearly affordable” karena walaupun anggaran untuk pendidikan diukur dari prosentase PDB terendah dari berbagai negara di Asia, Pemerintah selalu mengelak untuk memenuhi ketentuan UUD 1945, yaitu sekurang-kurangnya 20 % APBN (tidak termasuk gaji guru dan pendidikan kedinasan) dengan alasan banyak sektor lain yang memerlukan biaya.
Tentang pentingnya pendidikan dalam proses pembangunan bangsa tidak hanya perlu diperhatikan oleh negara yang sedang berkembang, negara yang sudah maju pun tetap memandang pendidikan sebagai bagian yang essensial bagi Negara seperti Amerika Serikat di era globalisasi ini. Berikut akan dikutipkan pernyataan beberapa Gubernur Negara Bagian Amerika Serikat tentang Pendidikan :
1) “As a nation, and as a state, we are engaged in a protracted economic war of attrition that wil not be won with bombers but with blackboards a war that will not be won or lost on the bathlefield but in the classroom” (Governor Richard D Lamn, Colorado).
2) “Education is the fuel that drive the engine of economic growth and job creation in America’s modern society” (Gov. Rudy Perpich, Minnesota).
3) “If the state is going to be serious about industrial recruitment, legislatures and citizens must become serious about improving the quality of our educational system” (Gov. Tony Anaya, New Mexico).
4) “I Believe that in a global economy, Ohio’s ability to overtake our competition is directly linked to the level of our investment in education”.

Dari serangkaian kutipan pandangan para ahli dan pejabat negara makin jelas bahwa betapa visionernya para Pendiri Republik yang menetapkan ketentuan tentang pendidikan dalam UUD 1945. Tetapi disayangkan bahwa para penyelanggara negara nampak belum sepenuhnya memahami hal ini terbukti dari tidak ada upaya untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 31 UUD 1945 terutama :
1) ayat (2) yang mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan dasar yang wajib bagi setiap warga negara;
2) ayat (4) yang mewajibkan disediakannya anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN; dan
3) ayat (5) yang mewajibkan pemerintah memajukan IPTEK.

Yang terakhir ini tidak hanya diabaikan oleh Pemerintah tetapi masyarakat pun mengabaikannya dan bahkan tidak memahami apa maknanya bagi pembangunan nasional.
Padahal Presiden Yudhoyono sendiri dalam pidato di hadapan konferensi UNESCO di Jakarta menyatakan bahwa di abad ke-21 ini kemajuan suatu bangsa akan ditentukan oleh pendidikan dan IPTEK.
Pandangan ini dianut banyak negara maju dan UNESCO. Berikut akan dikutipkan beberapa sikap dan pandangan tentang peran IPTEK dan Universitas dalam pembangunan suatu bangsa. Pada tahun 1963, seorang bekas Presiden Universitas California menyatakan peranan Universitas dalam kalimat berikut :
“The basic reality, for the university, is the widespread recognition that new knowledge is the most important factor in economic and social growth. We are just know perceiving that the university’s invisible product, knowledge, may be the most powerful element in our cultureu, affecting the rise and fall of proffessions, and even social class, of region, or even of nations”
Tiga puluh tahun setelah pandangan ini dimasyarakatkan Panitia International UNESCO untuk Pendidikan Abad ke-21 khusus tentang peranan Universitas di negara berkembang menyampaikan kesimpulannya sebagai berikut :
“Nowhere is the universities responsibility for the development of the society as a whole more acute than in developing countries, where research done in instittutions of higher learning plays pivoted role in providing the basis for development programme, policy formulation, and training of middle and higher-level human resources”
Karena demikian strategiknya kedudukan Universitas dan research-nya bagi kemajuan suatu bangsa negara seperti Amerika Serikat dana untuk pendidikan tinggi mencapai 2,5 % PDB dan untuk research mencapai 2,5 % PDB, untuk beasiswa saja Pemerintah Federal Amerika Serikat menyediakan dana 100 milyar US dollar. Bagaimana dengan Indonesia? Walaupun pasal 31 ayat (5) telah menetapkan kewajiban Pemerintah untuk memajukan Ilmu Pengetahuan, anggaran untuk IPTEK pada tahun 2005 tidak lebih dari 0,05 % PDB dan untuk Perguruan Tinggi sekitar 0,20 % PDB. Satuan biaya untuk per mahasiswa per tahun di Amerika Serikat rata-rata sekitar Rp. 200 juta. Sedangkan di Indonesia pemerintah hanya menyediakan dana per mahassiswanya kurang dari tiga juta rupiah per mahasiswa.
Penyelenggaraan pendidikan nasional yang diabaikan oleh Pemerintah ini,– bukan hanya Pemerintah sekarang, tetapi sejak Orde Baru, -- telah mendorong MPR RI mengamandemen pasal 31 UUD 1945 yang memperjelas kewajiban Pemerintah yaitu : (1) membiayai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan dasar yang wajib; (2) menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD; dan (3) memajukan IPTEK. Namun, ketiganya belum ada yang dilaksanakan.
Penulis berpandangan bahwa tidak dibiayainya pendidikan secara memadai sesuai dengan ketentuan yang tersirat dan tersurat, baik dalam UUD 1945, maupun UU No. 20 Tahun 2003 dalam pasal 49 ayat (1) menetapkan minimal 20 % APBN tidak termasuk gaji guru pada hakekatnya menyimpang dari hakekat Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan. Karena tanpa pendidikan yang bermutu yang dapat menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas secara intelektual, berwatak, beretos kerja tinggi, berdisiplin, dan bermoral, kesejahteraan tidak akan meningkat. Seperti yang dikatakan M Woodshall dan George Psacharopoulos yang dikutip oleh Kotler :
“The main institutional mechanism for building up human capital is the formal education system. Fundamentally, formal education fulfills as basic human knowledge and provides a means of helping to meet other basic needs. Its contributions to social and economic activities are pervasive. Education facilitates the process of industrialization by improving the quality of labor force”
Selanjutnya Kotler mengutip laporan Bank Dunia (1997) yang menyatakan “That the lack of education is a greater obstacle to industrialization than the lack of physical asset”.
Berangkat dari pandangan tentang pentingnya pendidikan, penulis berpandangan bahwa diabaikannya penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan amanat UUD 1945 mengakibatkan Indonesia setelah hampir 64 tahun merdeka belum juga cerdas kehidupannya. Itu antara lain dapat dilihat dari indikator berikut : (1) kalau musim kering kekurangan air bersih; (2) kalau musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor; (3) kalau ada bencana alam tidak dapat mengatasi sendiri, dan sangat bergantung kepada bantuan bantuan asing, hampir dalam semua hal, baik modal maupun teknologi; (4) wabah penyakit yang berulang muncul dan mematikan tidak diupayakan secara strategis mengatasinya; (5) masih rendahnya atau belum terbangunnya infrastruktur teknologi; (6) rendahnya daya saing dalam segala bidang, termasuk olah raga; dan (7) tingginya ketergantungan kita kepada teknologi import.
Tulisan ini juga memandang bahwa cita-cita memajukan kebudayaan nasional masih jauh dari tercapai karena setelah 64 tahun merdeka belum juga terbangun budaya demokratis yang mantap, berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa, rendahnya produktifitas bangsa baik dalam IPTEK maupun ekonomi serta nampak masih rendahnya “sense of national unity”.Sementara itu, tingkat kesejahteraan rakyat masih jauh dari terwujudnya cita-cita “terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, antara lain dapat dilihat dari tingginya pengangguran, rendahnya tingkat kebugaran dan kesehatan rakyat, dan rendahnya tingkat pendidikan warga negara.
Atas dasar ulasan ini penulis berpandangan bahwa disamping tidak dilaksanakannya berbagai ketentuan yang tersirat dan tersurat dalam UUD 1945 dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sebagai wujud dari penyimpangan terhadap ideologi Negara Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan, juga akan berdampak kepada tidak kunjung cerdasnya kehidupan bangsa Indonesia dan ujungnya tidak kunjung meningkatnya kesejahteraan rakyat Indonesia.
Lahirnya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah wujud nyata dari penyimpangan terhadap UUD 1945. Karena dengan UU tersebut secara sah Pemerintah tidak perlu membiayai pendidikan, terutama pendidikan menengah dan tinggi, dan hanya berkewajiban memberi hibah. Dan ini bertentangan dengan pasal 31 ayat (3) UUD 1945.
Demikian beberapa catatan terhadap makna Pancasila sebagai Filsafat Dasar dan Landasan Ideologi Negara Indonesia sebagai Negara Kebangsaan dan Negara Kesejahteraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar